Penderita HIV( Human Immunodeficiency Virus) yaitu virus yang dapat mengakibatkan penurunan kekebalan tubuh manusia dan AIDS (Aquaired Immuno Defisiensi Syndrom) yaitu kumpulan gejala sebagai akibat menurunnya kekebalan tubuh manusia. Di Afrika biasa disebut penyakit kurus (Slim Disease), sudah sepatutnya menerima curahan kasih sayang sebagaimana dinyatakan dalam slogan yang didengungkan pada hari AIDS sedunia di Indonesia yang terkenal dengan slogan, “STOP AIDS – Dengan Kasih Sayang dan Keteladanan”.
Presiden Susilo Bambang Yudoyono juga telah menegaskan, “mari kita beri pelayanan yang baik adil, manusiawi dan menyeluruh, bagi yang terlanjur terinfeksi HIV dan terlanjur mengidap penyakit AIDS. Mari kita lakukan pelayanan terbaik dengan penuh kasih sayang. Mari kita hilangkan stigma dan diskriminasi yang tidak perlu bagi saudara-saudara kita yang terlanjur terkena virus HIV dan AIDS di tempat mereka bekerja.”
Sayangnya, semua itu masih sebatas slogan. Usulan-usulan yang mengemuka dalam menekan laju pertumbuhan HIV/AIDS masih sarat dengan semangat dikriminasi terhadap ODHA. Sebut saja, usulan pemilikan surat bebas HIV/AIDS sebagai syarat menikah, atau yang lebih kasar lagi adalah keharusan penggunaan chips untuk penderita HIV/AIDS yang dinyatakan dalam perda kesehatan yang diusulkan oleh DPRD Papua. Beruntung cara memalukan yang terakhir itu ditolak mentah-mentah oleh Gubernur Papua, Barnabas Suebu, juga oleh KPA (Komisi Penanggulangan AIDS).
Memahami Frustasi ODHA
Dahsyatnya ancaman HIV/AIDS membuat banyak orang panik, meski demikian, banyak dari mereka itu tetap enggan menjauhkan diri dari seks bebas dan penggunaan jarum suntik secara berganti-ganti yang menjadi media penularan utama HIV/AIDS. Dengan beragam alasan mereka tetap saja ingin akrab dengan dunia itu. Namun, pada sisi yang lain mereka sangat takut terinfeksi penyakit itu. Mereka tidak ingin mengalami nasib seperti teman-teman mereka yang telah terlebih dahulu terjangkit. Makanya ketika ada peraturan-peraturan yang bisa mensterilkan ruang kebebasan mereka itu, ruang dimana teman-teman mereka telah terinfeksi HIV, usulan itu pun disambut gempita, meski penetapan peraturan itu harus menabrak HAM ODHA. Seperti usulan John Manangsang untuk memasang chips/sinyal pada orang terinfeksi HIV yang tertuang dalam Peraturan daerah (perda) Kesehatan di Papua yang juga memiliki banyak pendukung.
Sikap paradoks itu sesungguhnya bukan saja tidak akan mampu membentengi mereka dari ancaman HIV/AIDS, karena penyakit itu bisa masuk dengan berbagai macam cara, apalagi pada tahap masa inkubasi seorang yang terkena infeksi HIV tetap sehat, namun bisa menularkan virus itu kepada orang lain, penularan virus itu bisa terjadi sebelum test darah penderita menjadi positif. Jadi amatlah sulit mensterilkan ruang dimana penyebaran utama HIV itu terjadi. Promosi penggunaan kondom masih dianggap cara yang lebih aman untuk menghambat cepatnya penularan HIV terhadap mereka yang akrab dengan dunia seks bebas yang dilarang oleh agama itu.
Mendiskriminasikan mereka yang telah terjangkit HIV/AIDS untuk tidak boleh ada dalam ruang dimana mereka telah tertular utamanya telah merampas Hak-hak privat ODHA. Itu mengindikasikan ODHA telah menjadi kambing hitam, memvonisnya sebagai sumber bencana yang patut dipersalahkan. Akibatnya, ruang kebebasan ODHA pun makin menjadi sempit.
Tanpa memahami frustasi ODHA yang menderita itu perlakuan diskriminatif akan kerap terjadi.
Apalagi ketika tingkat laju pertumbuhan HIV/AIDS itu sangat mencengangkan. Jadilah mereka bulan-bulanan kemarahan banyak orang. Alhasil, media massa tak pernah bosan melaporkan ODHA yang sudah jamak mengalami diskriminasi; disingkirkan oleh masyarakat, diberhentikan dari pekerjaan, dibenci dan menerima perlakuan buruk dari masyarakat. Tepat seperti ungkapan yang mengatakan, “sudah jatuh tertimpa tangga pula.”
Perlakuan diskriminasi yang jamak itu tentu saja membuat banyak ODHA di Indonesia frustasi, setidaknya itu telah diutarakan oleh mereka dalam unjuk rasa empat puluh penderita HIV/AIDS di Bundaran Hotel Indonesia (29/11/2006). Karena rasa frustasi yang berat itu penderita HIV/AIDS dalam demonstrasi itu nekat mengancam akan menularkan virus yang ada dalam tubuh mereka kepada masyarakat umum jika diskriminasi tak kunjung dihentikan.
Hanya dengan memahami frustasi ODHA lah tindakan diskriminasi dapat dienyahkan. Kesediaan untuk memahami frustasi ODHA juga memungkinkan kita memahami betapa pemberian kasih sayang, sebagaimana yang telah menjadi slogan perang terhadap HIV/AIDS merupakan sesuatu yang amat penting. Dan dengan bertumbuhnya kesadaran itu, jembatan kerja sama untuk memerangi HIV/AIDS dapat terbangun dengan baik.
Kasih membawa Berkat
Curahan kasih sayang pada mereka yang terinfeksi HIV dan AIDS sesungguhnya juga merupakan berkah bagi semua manusia, bukan hanya untuk mereka yang terinfeksi, karena perlakukan secara manusiawi akan membuat ODHA bergairah melibatkan diri dalam memerangi HIV. Itu adalah formula yang ampuh untuk menekan lajunya pertumbuhan penyakit yang mematikan itu.
Tepatlah apa yang dikatakan Prof Jonathan Mann (almarhum), perintis paduan ilmu kesehatan dan HAM Universitas Harvard dan mantan Direktur Program Global WHO, program penanggulangan AIDS di suatu negara bisa berhasil dengan cara merangkul, “memanusiakan” orang-orang dengan HIV/AIDS . Secara internasional, pengakuan ini juga tertuang dalam deklarasi UNGASS (United Nations General Assembly Special Session) pada tahun 2001, dan Indonesia merupakan salah satu dari 189 negara yang menandatangani deklarasi tersebut.
Sebenarnya tak ada alasan sahih untuk mendiskriminasikan mereka yang terinfeksi HIV/AIDS, apalagi saat ini banyak diantara mereka yang terinfeksi HIV/AIDS sesungguhnya adalah anggota keluarga baik- baik. Melalui berbagai cara, HIV/AIDS menjangkiti banyak anggota keluarga baik-baik itu, bahkan diantara mereka yang menderita HIV/AIDS ada juga anak-anak, karena terlahir dalam kandungan ibu penderita HIV, biasa disebut penularan HIV/AIDS masa generasi kedua.
Hanya dengan mengasihi ODHA lah genderang perang terhadap HIV dapat dilakukan secara bersama, karena ODHAjuga bertanggung jawab untuk memerangi HIV. Dan cara ini sampai saat ini masih merupakan cara yang terampuh. Slogan, Stop HIV/AIDS Dengan kasih sayang bukan hanya penting untuk didengungkan, tapi lebih mendesak lagi untuk diimplementasikan di negeri ini.